Jumat, 29 April 2011

Jika sakit, Allah menyembuhkan aku

Bismillah....

berawal dari diskusi disalah satu room, mengenai seputar berobat. ada yang mengatakan lebih senang dalam kondisi sakit dan tidak menginginkan berobat, lalu apakah berobat itu menyalahkan syari'at...

Barangkali sebagian muslimin beranggapan bahwa berobat dapat mengikis kesempurnaan tauhid. Alasannya bahwa berobat merupakan penggunaan sebuah sebab yang berlawanan dengan tawakkal kepada Allah. Sehingga seorang yang bertawakkal tidak butuh untuk berobat bila sakit. Jika Allah menginginkan kesembuhannya maka dia akan sembuh tanpa perlu berobat. Benarkah menjalani sebuah sebab berlawanan dengan tawakkal kepada Allah? Marilah kita simak tulisan berikut ini.

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah mengutarakan masalah berobat, sebagaimana dalam beberapa hadits. Di antaranya,

1. Dari Jabir Bin Abdullah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat tepat dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu’anhu, bahwa beliau berkata,

“Aku pernah di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lalu datanglah serombongan orang arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat? .” Beliau menjawab, “Iya, wahai para hamba Allah berobatlah. Sebab Allah ‘azza wa jalla tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “ Penyakit apa itu? .” Beliau menjawab, “Penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad, Al Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Juga Al-Bushiri menshahihkannya dalam kitab Zawaidnya. Lihat Takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad 4/12-13)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam hadits-hadits yang shahih ini terdapat perintah untuk berobat dan itu tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak penyakit yang berupa rasa lapar, haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya, tidak menghilangkan tawakkal. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani sebab yang Allah letakkan sebagai faktor yang akan melahirkan akibat, baik secara ketentuan takdir maupun hukum syariat. Menolak sebab dapat merusak tawakkal itu sendiri. Demikian pula dapat merusak dan melemahkan nilai perintah Allah dan hikmah-Nya. Sementara orang-orang yang menolak sebab beranggapan bahwa yang demikian itu akan lebih menguatkan tawakkal. Padahal menolak sebab merupakan sebuah kelemahan yang bisa menghilangkan tawakkal. Karena hakikat tawakkal adalah seorang menyandarkan hatinya kepada Allah dalam meraih kemanfaatan dan menolak bahaya, baik pada agama maupun dunianya. Penyandaraan hati ini harus disertai dengan menjalani sebab. Jika tidak, maka dia akan menggugurkan hikmah Allah dan syari’at-Nya. Oleh karena itu, jangan seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai sikap bertawakkal dan jangan pula dia menjadikan tawakkalnya sebagai sebuah kelemahan.” (Lihat Zadul Ma’ad, cet. Maktabah Ar-Risalah 4/14)


Berobat merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang datang pada bab ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.

Pertama
, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan tetapi yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullah.

Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi’i rahimahumullah. Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas salaf dan kholaf. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau berkata, “Menurut madzhab Abu Hanifah bahwa berobat adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”

Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja, tak ada yang lebih utama. Ini merupakan Madzhab Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa demikian pula meninggalkannya.” (lihat Fathul Majid halaman 88-89)

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan maka hukumnya wajib.

2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti maka melakukannya lebih utama.

3. Bila dengan berobat diperkirakan kesembuhan dan kebinasaannya memiliki kadar kemungkinan yang sama maka meninggalkannya lebih utama, agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa sadar.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’ 2/437)

Salah satu sifat orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah bertawakkal kepada Allah semata. Sifat ini bukan berarti mereka tidak menjalani sebab sama sekali. Karena secara global menjalani sebab merupakan perkara fitrah dan tertanam secara spontan. Tak seorang pun bisa terlepas dari menjalani sebab. Bahkan bertawakkal itu sendiri merupakan sebab yang paling terbesar, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)

Dengan demikian mereka hanya meninggalkan perkara yang makruh walaupun mereka membutuhkannya, dengan tetap bertawakkal kepada Allah, seperti meminta diruqyah atau dikay. Mereka meninggalkan perbuatan ini karena keberadaannya sebagai sebab yang makruh. Terlebih lagi orang yang sakit, dia akan bergantung dengan apa saja yang dianggapnya sebagai sebab untuk kesembuhannya meskipun dengan rumah laba-laba (yang sangat lemah).

Adapun menjalani sebab dan berobat dalam bentuk yang tidak mengandung hukum makruh maka tidak merusak tawakkal. Oleh karena itu meninggalkannya tidak disyariatkan, sebagaimana yang terpahami dari hadits-hadits yang telah kita cantumkan di atas. (Lihat Fathul Majid 87-88).

Menjalani sebab bisa menjadi perbuatan syirik dan bisa pula merupakan perwujudan ibadah dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadi syirik bila orang yang menjalaninya menyandarkan hati kepadanya, merasa tenang dengannya, dan meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat melahirkan akibat tanpa Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berpaling dari Dzat Yang Menciptakan Sebab dan menjadikan perhatiannya hanya terbatas pada sebab itu.

Sedangkan menjadi tauhid dan ibadah bila dia menganggapnya hanya sebagai bentuk penunaian, pelaksanaan dan penegakan hak peribadahan yang terdapat padanya. Lalu menempatkannya pada tempat yang sesuai. Maka menjalani sebab dengan cara yang seperti ini merupakan peribadahan dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena hal itu tidak memalingkannya dari menghadapkan hati kepada Dzat Pencipta Sebab.

Seorang yang bertauhid dan bertawakkal kepada Allah tetap menjalani sebab tetapi tidak menyandarkan hati, tenang, berharap, takut dan condong kepadanya. Hatinya hanya tertuju dan tergantung kepada Zat Pencipta Sebab subhanahu wa ta’ala. Namun bukan berarti dia menolak, menggugurkan dan mengabaikan untuk menjalani sebab.

Tawakkal tidak benar, baik secara hukum syariat maupun logika kecuali bila digantungkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Tak ada di alam nyata ini sebab yang sempurna dan dapat melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Kehendak Allah merupakan sebab bagi segala sebab. Allah telah menjadikan padanya kekuatan yang selalu menuntut akibat. Tak ada satu sebab pun yang bisa melahirkan akibat dengan sendirinya melainkan harus disertai oleh sebab yang lain. Allah menjadikan bagi setiap sebab lawan-lawan dan perkara-perkara yang dapat menghalanginya. Hal ini tentunya berbeda dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Kehendak-Nya tidak membutuhkan sebab apapun selainnya. Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya. Dia menghendaki sebuah perkara lalu menghendaki lawannya dan perkara yang mencegah terjadinya. Seluruhnya dengan kehendak dan pilihan Allah. Oleh karena itu tawakkal tidak dibenarkan kecuali hanya kepada-Nya. Demikian pula penyandaran diri, rasa takut, harapan, keinginan tidak ditujukan kecuali kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaanmu dari siksa-Mu. Dan dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

“Tak ada tempat selamat dan berlindung dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)

Apabila kita mengumpulkan antara bertauhid dan menjalani sebab maka hati kita akan lurus dalam menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, tampaklah jalan besar yang dilalui oleh seluruh rasul, nabi dan pengikut mereka. Itulah jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Semoga Allah selalu membimbing kita. (Lihat Madarijus Salikin, cet Dar Ihyaut Turots Al-Arabi, 3/368-369)

Wallahu a’lam bishshawab.


(Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

zZz

Posting Komentar