Rabu, 11 Mei 2011

Ciri-Ciri Takut Pada Allah

Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. (Al-Baqarah: 150)

Sesunggahnya itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang orang masyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi tahutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Ali Imran: 175)

Dan hanya kepada-Kalah kamu harus takut. (Al-Baqarah: 40)

Seorang mukmin itu tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah,kecuali takut secara naluri (maka ini tidak terlarang), seperti seseorang yang takut terhadap ular, sebagaimana pernah terjadi pada Kaliimullah (Nabi yang diajak bicara oleh Allah, yaitu Nabi Musa),

Maka Musa merasa takut dalam hatinya. (Thaahaa: 67)

cirinya yaitu :

Pada lisannya

Seseorang yang takut kepada Allah mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Sehingga dia menjaganya dari perkataan dusta, ghibah dan perkataan yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. Bahkan selalu berusaha agar lisannya senantiasa basah dan sibuk dengan berdzikir kepada Allah, dengan bacaan Al Qur'an, dan mudzakarah ilmu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang dapat menjaga (menjamin) untukku mulut dan kemaluannya, aku akan memberi jaminan kepadanya syurga".(HR. Al Bukhari).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

"Tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu (perkataan) yang tidak berguna". (HR. At Tirmidzi).

Kemudian dalam riwayat lain disebutkan, artinya: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik, atau (kalau tidak bisa) maka agar ia diam".(HR. Al Bukhari dan Muslim).

Begitulah, sesungguhnya seseorang itu akan memetik hasil ucapan lisannya, maka hendaklah seorang mukmin itu takut dan benar-benar menjaga lisannya.

Pada perutnya

Orang mukmin yang baik tidak akan memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali dari yang halal, dan memakannya hanya terbatas pada kebutuhannya saja.

Firman Allah Ta'ala:

Artinya: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil".(Al Baqarah: 188).

Ibnu Abbas menjelaskan, memakan dengan cara batil ini ada dua jalan yaitu; Pertama dengan cara zhalim seperti merampas, menipu, mencuri, dll. Dan Kedua dengan jalan permainan seperti berjudi, taruhan dan lainnya. Harta yang diperoleh dengan cara haram selamanya tidak akan menjadi baik/suci sekalipun diinfaqkan di jalan Allah. Sufyan Ats-Tsauri menjelaskan, "Barangsiapa menginfaqkan harta haram (di jalan Allah) adalah seperti seseorang mencuci pakaiannya dengan air kencing, dan dosa itu tidak bisa dihapus kecuali dengan cara yang baik". Bahkan dijelaskan dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, setiap jasad (daging) yang tumbuh dari harta haram maka neraka lebih pantas untuknya.

Jadi, itulah urgensi memperhatikan jalan mencari harta. Sudahkah kita takut kepada Allah dengan menjaga agar jangan sampai perut kita dimasuki harta yang diharamkan Allah ?

Pada tangannya

Orang mukmin yang takut kepada Allah akan menjaga tangannya agar jangan sampai dijulurkan kepada hal-hal yang diharamkan Allah seperti; (sengaja) menyentuh wanita yang bukan muhrim, berbuat zhalim, aniaya. Dan tidak bermain dengan alat-alat permainan syetan seperti alat perjudian.

Orang mukmin selalu menggunakan tangannya untuk melakukan ketaatan, seperti bershadaqah, menolong orang lain (dengan tangannya) karena dia takut di akhirat nanti tangannya akan berbicara di hadapan Allah tentang apa yang pernah dilakukan-nya, sedangkan anggota badannya yang lain menjadi saksi atasnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

Artinya: "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan".(Yasin: 65).

Bahkan salah seorang ulama salaf berkata; "Sekiranya kulit saya ditempeli bara api yang panas, maka itu lebih aku sukai daripada saya harus menyentuh perempuan yang bukan muhrim".

Itulah gambaran orang mukmin sejati yang takut kepada Allah di dalam menggunakan tangannya

Pada penglihatannya

Penglihatan merupakan nikmat Allah Ta'ala yang amat besar, maka musuh Allah yaitu syetan tidak senang kalau nikmat ini digunakan sesuai kehendak-Nya. Orang yang takut kepada Allah selalu menjaga pandangannya dan merasa takut apabila memandang sesuatu yang diharamkan Allah, tidak memandang dunia dengan pandangan yang rakus namun memandangnya hanya untuk ibrah (pelajaran) semata.

Pandangan merupakan panah api yang dilepaskan oleh iblis dari busurnya, maka berbahagialah bagi siapa saja yang mampu menahannya.

Allah berfirman:

Artinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman; "Hendaklah mereka menahan pandangan-nya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat"".(An Nur: 30).

Jika kita teliti banyaknya kemaksiatan dan kemungkaran yang merajalela, seperti; perzinaan dan pemerkosaan, salah satu penyebabnya adalah ketidak mampuan seseorang menahan pandangannya. Sebab, sekali seseorang memandang, lebih dari sepuluh kali hati membayangkan. Maka, sudahkah kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan menahan pandangan kepada sesuatu yang diharamkanNya?

Pada pendengarannya

Ini perlu kita renungi bersama, sehingga seorang mukmin akan selalu menjaga pendengarannya untuk tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti nyanyian yang mengundang birahi beserta irama musiknya, dll. Firman Allah Ta'ala:

Artinya: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai tanggung jawabnya". (Al Israa': 36).

Dan seorang mukmin akan menggunakan pendengarannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Pada kakinya

Seseorang yang takut kepada Allah akan melangkahkan kakinya ke arah ketaatan, seperti mendatangi shalat jama'ah, majlis ta'lim dan majlis dzikir. Dan takut untuk melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat serta menyesal bila terlanjur melakukannya karena ingat bahwa di hari kiamat kelak kaki akan berbicara di hadapan Allah, ke mana saja kaki melangkah, sedang bumi yang dipijaknya akan menjadi saksi.

Firman Allah Ta'ala:

Artinya: "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan". (Yaasin: 12)

.

Asbabun nuzul ayat ini adalah bahwa seorang dari Bani Salamah yang tinggal di pinggir Madinah (jauh dari masjid) merencanakan untuk pindah ke dekat masjid, maka turunlah ayat ini yang kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa bekas langkah (telapak) menuju masjid dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh.

Semua bekas langkah kaki akan dicatat oleh Allah ke mana dilangkahkan, dan tidak ada yang tertinggal karena bumi yang diinjaknya akan mengabarkan kepada Allah tentang apa, kapan, dan di mana seseorang melakukan suatu perbuatan. Jika baik maka baiklah balasannya, tetapi jika buruk maka buruk pula balasannya. Ini semua tidak lepas dari kaki yang dilangkahkan, maka ke manakah kaki kita banyak dilangkahkan ?

Pada hatinya

Seorang mukmin akan selalu menjaga hatinya dengan selalu berzikir dan istighfar supaya hatinya tetap bersih, dan menjaganya dari racun-racun hati.

Seorang mukmin akan takut jika dalam hatinya muncul sifat jahat seperti buruk sangka, permusuhan, kebencian, hasad dan lain sebagainya kepada mukmin yang lain. Karena itu semua telah dilarang Allah dan RasulNya dalam rangka menjaga kesucian hati. Hati adalah penentu, apabila ia baik maka akan baik seluruh anggota tubuh, tetapi apabila ia jelek maka akan jeleklah semuanya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati".(HR. Riwayat Al Bukhari dan Muslim).

Maka pernahkah kita merasa takut bila hati kita menjadi gelap? Bahkan kita selalu merasa bahwa hati kita sama sekali tidak ada kejelekannya? Naudzubillah. Dari ini semua sudahkah kita termasuk orang yang takut kepada Allah ?

Maraji': Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al Hambali dan Ibnu Qayyim

»»  read more

Jumat, 29 April 2011

Jika sakit, Allah menyembuhkan aku

Bismillah....

berawal dari diskusi disalah satu room, mengenai seputar berobat. ada yang mengatakan lebih senang dalam kondisi sakit dan tidak menginginkan berobat, lalu apakah berobat itu menyalahkan syari'at...

Barangkali sebagian muslimin beranggapan bahwa berobat dapat mengikis kesempurnaan tauhid. Alasannya bahwa berobat merupakan penggunaan sebuah sebab yang berlawanan dengan tawakkal kepada Allah. Sehingga seorang yang bertawakkal tidak butuh untuk berobat bila sakit. Jika Allah menginginkan kesembuhannya maka dia akan sembuh tanpa perlu berobat. Benarkah menjalani sebuah sebab berlawanan dengan tawakkal kepada Allah? Marilah kita simak tulisan berikut ini.

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah mengutarakan masalah berobat, sebagaimana dalam beberapa hadits. Di antaranya,

1. Dari Jabir Bin Abdullah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat tepat dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu’anhu, bahwa beliau berkata,

“Aku pernah di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lalu datanglah serombongan orang arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat? .” Beliau menjawab, “Iya, wahai para hamba Allah berobatlah. Sebab Allah ‘azza wa jalla tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “ Penyakit apa itu? .” Beliau menjawab, “Penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad, Al Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Juga Al-Bushiri menshahihkannya dalam kitab Zawaidnya. Lihat Takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad 4/12-13)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam hadits-hadits yang shahih ini terdapat perintah untuk berobat dan itu tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak penyakit yang berupa rasa lapar, haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya, tidak menghilangkan tawakkal. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani sebab yang Allah letakkan sebagai faktor yang akan melahirkan akibat, baik secara ketentuan takdir maupun hukum syariat. Menolak sebab dapat merusak tawakkal itu sendiri. Demikian pula dapat merusak dan melemahkan nilai perintah Allah dan hikmah-Nya. Sementara orang-orang yang menolak sebab beranggapan bahwa yang demikian itu akan lebih menguatkan tawakkal. Padahal menolak sebab merupakan sebuah kelemahan yang bisa menghilangkan tawakkal. Karena hakikat tawakkal adalah seorang menyandarkan hatinya kepada Allah dalam meraih kemanfaatan dan menolak bahaya, baik pada agama maupun dunianya. Penyandaraan hati ini harus disertai dengan menjalani sebab. Jika tidak, maka dia akan menggugurkan hikmah Allah dan syari’at-Nya. Oleh karena itu, jangan seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai sikap bertawakkal dan jangan pula dia menjadikan tawakkalnya sebagai sebuah kelemahan.” (Lihat Zadul Ma’ad, cet. Maktabah Ar-Risalah 4/14)


Berobat merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang datang pada bab ini. Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.

Pertama
, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan tetapi yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullah.

Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi’i rahimahumullah. Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas salaf dan kholaf. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar. Beliau berkata, “Menurut madzhab Abu Hanifah bahwa berobat adalah perkara yang sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”

Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya sama saja, tak ada yang lebih utama. Ini merupakan Madzhab Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa demikian pula meninggalkannya.” (lihat Fathul Majid halaman 88-89)

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memiliki metode yang cukup baik dalam mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa keadaan, sebagai berikut:

1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan maka hukumnya wajib.

2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti maka melakukannya lebih utama.

3. Bila dengan berobat diperkirakan kesembuhan dan kebinasaannya memiliki kadar kemungkinan yang sama maka meninggalkannya lebih utama, agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa sadar.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’ 2/437)

Salah satu sifat orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah bertawakkal kepada Allah semata. Sifat ini bukan berarti mereka tidak menjalani sebab sama sekali. Karena secara global menjalani sebab merupakan perkara fitrah dan tertanam secara spontan. Tak seorang pun bisa terlepas dari menjalani sebab. Bahkan bertawakkal itu sendiri merupakan sebab yang paling terbesar, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3)

Dengan demikian mereka hanya meninggalkan perkara yang makruh walaupun mereka membutuhkannya, dengan tetap bertawakkal kepada Allah, seperti meminta diruqyah atau dikay. Mereka meninggalkan perbuatan ini karena keberadaannya sebagai sebab yang makruh. Terlebih lagi orang yang sakit, dia akan bergantung dengan apa saja yang dianggapnya sebagai sebab untuk kesembuhannya meskipun dengan rumah laba-laba (yang sangat lemah).

Adapun menjalani sebab dan berobat dalam bentuk yang tidak mengandung hukum makruh maka tidak merusak tawakkal. Oleh karena itu meninggalkannya tidak disyariatkan, sebagaimana yang terpahami dari hadits-hadits yang telah kita cantumkan di atas. (Lihat Fathul Majid 87-88).

Menjalani sebab bisa menjadi perbuatan syirik dan bisa pula merupakan perwujudan ibadah dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadi syirik bila orang yang menjalaninya menyandarkan hati kepadanya, merasa tenang dengannya, dan meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat melahirkan akibat tanpa Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berpaling dari Dzat Yang Menciptakan Sebab dan menjadikan perhatiannya hanya terbatas pada sebab itu.

Sedangkan menjadi tauhid dan ibadah bila dia menganggapnya hanya sebagai bentuk penunaian, pelaksanaan dan penegakan hak peribadahan yang terdapat padanya. Lalu menempatkannya pada tempat yang sesuai. Maka menjalani sebab dengan cara yang seperti ini merupakan peribadahan dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena hal itu tidak memalingkannya dari menghadapkan hati kepada Dzat Pencipta Sebab.

Seorang yang bertauhid dan bertawakkal kepada Allah tetap menjalani sebab tetapi tidak menyandarkan hati, tenang, berharap, takut dan condong kepadanya. Hatinya hanya tertuju dan tergantung kepada Zat Pencipta Sebab subhanahu wa ta’ala. Namun bukan berarti dia menolak, menggugurkan dan mengabaikan untuk menjalani sebab.

Tawakkal tidak benar, baik secara hukum syariat maupun logika kecuali bila digantungkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Tak ada di alam nyata ini sebab yang sempurna dan dapat melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Kehendak Allah merupakan sebab bagi segala sebab. Allah telah menjadikan padanya kekuatan yang selalu menuntut akibat. Tak ada satu sebab pun yang bisa melahirkan akibat dengan sendirinya melainkan harus disertai oleh sebab yang lain. Allah menjadikan bagi setiap sebab lawan-lawan dan perkara-perkara yang dapat menghalanginya. Hal ini tentunya berbeda dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Kehendak-Nya tidak membutuhkan sebab apapun selainnya. Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang Allah subhanahu wa ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya. Dia menghendaki sebuah perkara lalu menghendaki lawannya dan perkara yang mencegah terjadinya. Seluruhnya dengan kehendak dan pilihan Allah. Oleh karena itu tawakkal tidak dibenarkan kecuali hanya kepada-Nya. Demikian pula penyandaran diri, rasa takut, harapan, keinginan tidak ditujukan kecuali kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan pemeliharaanmu dari siksa-Mu. Dan dengan-Mu dari-Mu.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

“Tak ada tempat selamat dan berlindung dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim)

Apabila kita mengumpulkan antara bertauhid dan menjalani sebab maka hati kita akan lurus dalam menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, tampaklah jalan besar yang dilalui oleh seluruh rasul, nabi dan pengikut mereka. Itulah jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Semoga Allah selalu membimbing kita. (Lihat Madarijus Salikin, cet Dar Ihyaut Turots Al-Arabi, 3/368-369)

Wallahu a’lam bishshawab.


(Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim)
»»  read more

Minggu, 24 April 2011

MENDENGAR TAPI TAK MENDENGAR

Barangkali kita pernah mendapati dalam kehidupan sehari-hari kasus seorang ibu memarahi anaknya yang ketika dipanggil menjawab, "Ya bu," tapi ia tidak segera datang menghadap sang ibu. Hingga akhirnya si ibu pun berkata, "Kamu ini mendengar apa tidak sih?" Padahal dengan adanya jawab sang anak "Ya bu," si ibu tentunya sudah paham bahwa anaknya itu mendengar panggilannya. Ataupun ada seorang atasan yang memerintahkan kepada karyawannya untuk melakukan pekerjaan tertentu, lalu dijawab oleh sang karyawan, "Baik pak," tetapi tugas tersebut tidak segera dilakukan, hingga tak mengherankan jika keluar ungkapan dari sang atasan, "Anda ini mendengar apa tidak?"

Mendengarkan dan Taat
Allah subhanallahu wata’ala mengaruniakan kepada kita telinga dengan fungsi untuk mendengarkan, sehingga dengan mendengar itu seseorang tahu apa yang harus dia lakukan dalam kehidupan ini. Seperti dalam kasus di atas, sang anak atau karyawan tentunya bukanlah orang yang tuli, bahkan memiliki pendengaran (telinga ) yang normal. Tetapi ternyata pendengaran yang dia miliki tersebut tidak dengan serta merta menjadikannya merespon serta menanggapi kalimat yang telah dia dengar itu. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki dari mendengarkan bukanlah semata-mata mendengar suara, tetapi mendengar dengan disertai pemahaman dan kemauan mengikuti apa yang dia dengar itu.

Dalam istilah syara' mendengar yang disertai pemahaman dan kemauan untuk mengikuti apa yang dia dengar disebut dengan taat, sam'an wa tha'atan, sami'na wa atha'na. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala sangat mencela orang yang diberikan telinga (pendengaran) normal tetapi dia justru berpaling, tidak mau mendengar kan dan menaati seruan Allah dan rasul-Nya, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya)." (QS. al-Anfal: 20)

Makna ayat ini adalah bahwasanya Allah subhanahu wata’ala menyeru hamba-hambaNya kaum mukminin yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, yang membenarkan janji dan nacaman-Nya pada hari Kiamat dengan memerintahkan mereka supaya taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Dan juga melarang mereka dari berpaling padahal mereka mendengarkan ayat-ayat yang dibacakan serta nasehat-nasehat yang disampaikan berulang ulang dalam Kitabullah dan melalui lisan Rasul-Nya saw. Yang demikian ini disebabkan karena pertolongan dan bantuan dari Allah adalah merupakan buah dari ketaatan yang mereka lakukan. Jika seandainya mereka itu berpaling dan bermaksiat, meninggalkan sikap wala' (loyal) kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tentu mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang lain dari kalangan kaum kafir dan ahli maksiat. (Aisar at-Tafasir hal 436-437).

Mendengar Tapi Tidak Mendengar
Orang yang mendengar seruan Allah subhanahu wata’ala tetapi ia berpaling dan tidak mau menaatinya, maka jelas ada yang tidak beres dalam dirinya. Lain halnya jika disebabkan karena kebodohan, ketidaktahuan atau kekeliruan dalam memahami suatu perintah dan seruan, maka ia tidak disebut dengan berpaling. Seseorang dikatakan berpaling jika dia enggan dan menolak sebuah ajakan, perintah dan seruan sedangkan ia mengerti apa yang dimaksudkan dari seruan itu. Jadi dalam hal ini bukanlah telinga/indera pendengaran mereka yang tuli, tetapi hati dan akal mereka. Maka orang yang seperti ini dikatakan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai orang yang "mendengar tapi tidak mendengar". Mereka mendengarkan ayat-ayat dan seruan Allah subhanahu wata’ala dengan telinga mereka namun akal dan hati mereka tertutup tak mau mendengarkan, sehingga tidak dapat mengambil manfaat dan faidah dari apa yang mereka dengar itu. Allah subhanahu wata’ala befirman,

"Dan janganlah kamu menjadi sebagaimana orang-orang (munafik) yang berkata, "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan." (QS. al-Anfal:21)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala melarang kaum muslimin mengikuti jalannya orang-orang kafir, musyrik dan munafik dalam hal ketulian mereka dari mendengarkan ayat-ayat yang mengajak mereka kepada kebenaran dan menyeru kepadanya. Juga bersikap menutup mata (berlagak buta) dari melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada ketauhidan terhadap Allah subhanahu wata’ala. Mereka mengatakan, "Kami tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Muhammad, dan dari apa yang dia sebutkan dan dia isyaratkan kami tidak melihatnya." Mereka juga mengatakan, "Kami mendengarkan dengan telinga-telinga kami," tetapi mereka tidak mendengar kan dengan hati mereka. Ini disebabkan karena mereka tidak mau mentadabburi dan memikirkannya, sehingga meskipun mereka mendengar tetapi mereka sama halnya dengan orang yang tidak mendengar. Dalam hal ini 'ibrah (yang menjadi acuan atau ukuran) adalah as-sima' al intifa' (pendengaran yang memberikan manfaat), bukan semata-mata mendengarkan suara dengan telinga. (Aisar at-Tafasir hal. 437)

Seburuk-buruk Makhluk
Sikap mendengar tapi tidak mendengarkan ini rupanya masih banyak menimpa sebagian kaum muslimin saat ini. Berapa banyak ayat-ayat yang mereka dengar tentang haramnya judi, riba, minuman keras, dan lain-lain tetapi ternyata semua jenis kemaksiatan itu tetap jalan terus seakan ayat-ayat tersebut tak pernah mereka dengar. Berapa banyak mereka mendengarkan panggilan hayya 'alash shalah (mari kita shalat), namun mereka tetap tak bergeming sedikit pun dari kesibukan dunia mereka, seakan-akan panggilan shalat itu hanyalah sekedar suara sebagaimana halnya suara-suara lainnya. Jika mereka adalah orang yang memang tuli (telinganya tidak berfungsi), maka bisa dimaklumi apabila ketika adzan dikumandangkan mereka tidak mendatanginya. Tapi ini tidak demikian, telinga mereka berfungsi normal, kaki mereka juga tidak cacat, dan mereka dalam keadaan sehat wal afiat dan sejahtera. Apakah mereka akan menunggu sampai tiba suatu waktu di mana mereka tak mampu lagi untuk bersujud, sebagaimana firman Allah, artinya,

"Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera." (QS. al-Qalam: 42-43).

Orang-orang yang tuli lagi pekak ini dikatakan oleh Allah sebagai "Syarra ad-dawab" seburuk-buruk makhluk melata di muka bumi -na'udzu billah min dzalik-, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, artinya,

“Sesungguhnya binatang (mahluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadi kan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedangkan mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka-mereka dengar itu).” (QS. al-Anfal: 22-23)
Memang demikianlah keadaan mereka, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa mereka dikatakan tuli dan pekak bukan karena telinga mereka tuli (tuna rungu), tapi disebabkan mereka adalah orang-orang yang tidak berakal,. Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala ketika menyifati orang-orang yang pekak dan tuli, yakni orang-orang yang tidak mengerti apa-apa pun, yang dalam teks ayat disebut dengan "la ya'qilun' akalnya tidak berfungsi. Bagaimana mereka dikatakan orang yang berakal sedangkan mereka tidak mengenal siapa dirinya, siapa penciptanya, enggan bersyukur dan bersujud kepada penciptanya, tidak mau menaati-Nya, bahkan justru berpaling dari-Nya. Jadi mereka itu dihidupkan oleh Allah subhanahu wata’ala, hanyalah untuk makan, tidur dan memuaskan hawa nafsu serta syahwat belaka, tidak mau melaksanakan fungsi utama dan terbesar mereka diciptakan, yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Allahua'lam bi showab
»»  read more

Sabtu, 15 Mei 2010

MY Dreams

Bismillah......
Buat sobat fillah yang bersedia meluangkan waktunya sekedar untuk membaca bloger al fakir ini ana ucapkan Ahlan wa sahlan wa barakallahu feyk, sempat terharu juga jika membayangkan ada seorang yang mau memberikan komentar, kritik dan saran nya.



Padahal tidak seberapa tulisan di blog ini jika dibandingkan dengan yang lainya. Tapi ana berharap ada manfaat yang dapat di ambil pelajarannya walaupun itu hanya sedikit sekali.
Kebayang tidak kalau hari ini sobat masih menyimpan sebuah memory kecil, ketika sang Ibu, Ayah, Guru, kakak, atau yang lainya menanyakan cita-cita kita ?
Hmm…?@##$#$…mungkin diantara kita masih ada yang teringat, dengan senyum manis..cissss. tanda kegelian bahwa cita-cita kita terlalu woww, dan mungkin juga ada menggaruk-garuk kepala sebagai tanda kelupaan, maklum yang gi baca dah pikun ( heheee ). atau mungkin juga ada mengucapkan apaan sih.. :| a…mungkin sebagai tanda ketidak pedulian pada apa yang telah kita cita-citakan, benar tidak yah..
Ok back to discus…
Sobat..sadar ga kalau cita-cita itu suatu hal yang sangat berharga…
Kalau perjalanan kehidupan kita ini dimulai dari rahim Sang Ibu hingga Maut dah jemput kita belum sempat mengerti apa yang harus kita cita-citakan sungguh kita mengalami kerugian. kenapa ? karena kita ga mengerti tujuan hidup kita ini mau di kemanakan.
Cita-cita itu seperti mutiara, mahal harganya, dan membutuhkan modal yang sangat besar dengan pengorbanan untuk mendapatkanya, maka da pepatah mengatakan gapailah cita-citamu setinggi langit !
Yang menjadi pertanyaan untuk diri kita sudahkah saat ini kita menggapai cita-cita itu ?




Mengenal cita-cita kita
Cita –cita secara defenisi adalah suatu keinginan yang akan di capainya. Atau ambisi untuk mendapatkan hal yang diinginkan.
Saat kita kecil, saat pertanyaan itu di lontarkan ada sebuah jawaban yang dengan penuh percaya diri bahwa saat nanti, atau saat aku sudah BESAR aku ingin menjadi…, yupzz..cut
Kita berhenti sejenak dalam kenangan kita untuk berfikir sejauh mana bisa kita lakukan untuk bercita-cita . yang mengerti cita-cita sobat adalah sobat sendiri, bukan orang lain, orang lain sebagai peran pembantu dalam keberhasilan cita-cita, yang terpenting dalam hidup ini jangan pernah berhenti untuk bercita-cita, dan jangan pernah pula berputus asa dalam menggapai cita-cita. Allah swt dalam
surat
Arrahman berfirman : hai segologan jin dan manusia apa bila kalian dapat menembus langit tembuslah…sesungguhnya kalian tidak dapat melakukanya kecuali tanpa kekuatan Allah, kita dapat mengambil suatu ibroh yang terpenting dalam ayat ini berkenaan dengan pencapaian. Disini pulalah letak dari kekuasaan Allah sebagai penentu kesuksesan cita-cita kita. Bila dalam perjuangan kita untuk meraih cita-cita mengalami kegagalan, kita perlu pengkoreksian diri kalau kata aa Gym nih harus membuat manjemen yang baik dan sekali-kali jangan pernah berputus asa, karena Allah membenci orang-orang yang berputus asa.adapun bagi seorang pejuang hidup ini adalah untuk berjuang, mencari, dan menemukan, bukan untuk MENYERAH…!!!
Bermacam-macam cita-cita dan prioritasnya
“Aku ingin menjadi Doktor”
Kalau aku cudah besar aku mau jadi Insinyur, kaya Bj habiebie” bisa membuat pesawat terbang”
Kalau aku sih mau jadi Guru, atau polisi juga ga papa” biar aku dan keluargaku ga di tangkap ( ups…ada kali yah).
Semua yang kita cita-citakan pasti hal-hal yang sangat baik, tiada satu orang pun yang bercita-cita buruk. Meskipun ada, itu hanya sebuah dorongan emosional kita terhadap kegagalan yang kita lakukan, so jangan pernah menyerah.
Semua cita-cita diatas memanglah baik, tetapi semua itu hanyalah proses dari episode perjalanan kehidupan manusia. Bukan menempatkan cita-cita pada tempat yang hakiki.
Maka cita-cita itu dapat kita bagi menurut kadar perioritasnya.
1. cita-cita Fana yang bersifat selalu berubah-ubah
2. cita-cita hakiki. Prioritas utama
untuk memahami yang mana cita-cita sobat maka perlu kita pelajari nih 2 dari cita-cita tersebut.
1. Cita-cita Fana :
Biasanya cita-cita ini di tandai dengan perubahan dari sebuah keinginan kita, fitrah seorang manuisa yang ga nentu dalam pencapaian kepuasan memilih banyak jalan untuk ambisi yang akan di capainya. Cita-cita fana akan terbakar dengan sejalannya waktu dan keadaan. lihat saja pada diri kita, kemarin 10, 15,atau 20 tahun yang lalu saat seorang Guru menanyakan perihal cita-cita maka ada sepatah kata yang dengan sengaja maupun tidak sengaja akan mempengaruhi proses kesuksesan cita-cita kita, apa itu ?
Kalau sudah besar . perlu di garis bawahi sepatah kata ini sengaja atau tidak sengaja mempengaruhi gairah kehidupan kita.
Banyak mereka yang sudah besar melupakan cita-citanya karena :
- sudah puas terhadap keberhasilan cita-citanya
- hilangnya cita-cita karena ga mengerti apa yang akan di lakukannya nanti sekali lagi itulah fitrah manusia yang bersifat jenuh, bosan, dan lelah…
2. cita-cita hakiki :
cita-cita ini bersifat kekal selama akhir hayat, namun banyak yang ga menyadari keberadaanya. Prioritasnya pun yang paling utama di karenakan menyangkut keterjaminan hidup kita nantinya.
Seyogyakan bagi seorang muslim, penempatan cita-cita ini haruslah di tempatkan pada kadar yang utama karena dapat mempengaruhi ghirah kehidupan dalam interaksi sesama maupun kepada Sang Pencipta Allah Azza wajalla. Ambisi yang dilakukan hanya dengan tujuan yang mulia.
BAGI SEORANG MUSLIM cita-cita merupakan targetan masa depan yang mau atau tidak mau harus di capainya, dengan segala persiapan yang matang maka tiada pilihan baginya kecuali kehidupan yang mulia ataupun mati dalam keadaan khusnul khatimah dengan cita-cita inilah ia mengerti tujuan dari kehidupan hakiki. Kesuksesan pada dunia dan kesuksesan akherat seperti yang sobat lantunkan saat memohon kepada Allah di waktu selesai sholat “ Rabbana atina fidunya wa fil akhirati hasanah wa qina Azabbanar..”. (Al baqarah:200)
Drems Evolusion
Bila kemarin dalam hati kecil kita masih menyimpan ambisi atau cita-cita yang bersifat sementara keberadaanya, maka jangan menjadikan cita-cita itu sebagai prioritas yang utama tapi jadikanlah sebuah jalan untuk pencapaian cita-cita kita yang sebenarnya. Dan kalau sobat belum memiliki cita-cita tentulah saatnya untuk kita bercita-cita.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadikan motovasi kita untuk terus berjuang menggapai cita-cita dan mohon afwan jidannn bila ada kata-kata yang dhoif … so keep smile..spirit…and istiqamah. :)<- Allahu a'lam bishawab
»»  read more

Sabtu, 10 Oktober 2009

Rehat Sejenak

Cukup melelahkan rasanya hari ini..

tidak bukan saat ini saja, mungkin setiap waktu yang kujalani adalah kelalahan ku sendiri, banyak aktivitas, banyak menguras semua potensi baik tenaga maupun fikiran.

inilah hidup, butuh perjuangan, butuh pengorbanan,
agar semua harapanku terpenuhi,
agar semua episode kujalani dengan sebaik mungkin...
tiada kata lelah tiada kata menyerah...

hidup di dunia, bagaikan perantau yang mencari bekal dalam perjalanan menuju tempat kembali...banyak halangan, banyak hambatan, onak dan duri yang mesti mau tak mau kita hadapi, hanya ikhlas, do'a dan kesabaran menjadikan modal untuk melangkah...

jangan pernah berhenti berlari...mengejar apa yang kita cari....
yah aku mencari kebenaran yang nyata
yang menjadikan usahaku takkan pernah sia-sia untuk kembali..
apalagi jangan pernah lelah berjalan menelusuri hidup ini....
"fastabiqul"....bersegera...

siapa yang lelah dan menyerah ialah yang merugi
siapa yang berhenti ialah yang celaka...sungguh sayang sekali...

meskipun kita butuh rehat, butuh istirahat dan butuh waktu untuk memulihkan kembali semua potensi yang kita miliki, kita pun butuh kinerja yang tinggi, usaha yang maksimal dan keterjaminan ikhtiar kita dalam waktu yang mungkin terlalu singkat ini,...siapa tahu waktu kita hanya sedetik, semenit, sehari ataupun seminggu....yang tak pasti meskipun sudah pasti akan terjadi...

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (Al Quran At Taubah ayat 105)

amanah terlalu berat untuk kita,
tanggung jawab yang besar harus kita miliki....
jangan menjadi beban yang malah membuat kita lalai dalam tujuan semula...


hanya rehat sejenak...tak lama, tak melalaikan, cukuplah sebatas rehat sejenak..???


yuk...ah lanjutkan perjalanan..

insya Allah

»»  read more

Sabtu, 03 Oktober 2009

Semuanya Berada di Tangan Allah Azza wa Jalla

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

"Apa yang bisa diperbuat oleh seseorang yang ubun-ubunnya serta jiwanya berada di tangan Allah, hatinya berada di antara dua jari dari jari-jemari-Nya yang setiap saat bisa Dia bolak-balikkan sesuai yang Dia kehendaki, hidupnya pun berada di tangan-Nya, begitu pula matinya, kebahagiaannya dan kesengsaraannya berada di tangan-Nya, di tangan-Nya lah segala gerakan, diam dan bicaranya, semua perbuatannya atas izin dan kehendak- Nya.

Dia tidak bisa bergerak kecuali dengan izin-Nya dan tidak bisa berbuat kecuali dengan kehendak-Nya. Apabila dia bertawakal kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah bertawakal kepada zat yang lemah, sia-sia, penuh dengan dosa dan kesalahan. Dan apabila dia bertawakal kepada selain Allah berarti dia bertawakal kepada zat yang tidak mampu menolak kemudharatan dan tidak pula mampu mendatangkan kemanfaatan, tidak menguasai kehidupan dan kematian, serta tidak pula menguasai hari dikumpulkannya manusia kelak di padang mahsyar.

Kemudian apabila dia tidak bersandar kepada siapapun, berarti ia membukakan pintu bagi musuh untuk masuk dan menawannya. Jadi bagaimanapun juga ia tidak bisa terlepas dari Allah sekejap matapun, bahkan ia sangat membutuhkan-Nya sebanyak waktunya yang memenuhi setiap sudut sel dari seluruh sel-sel tubuhnya yang ada, baik itu yang tampak maupun yang tidak tampak. Sebenarnya ia butuh Allah, akan tetapi ternyata ia menyalahi-Nya dan berpaling dari-Nya; ia selalu membuat Dia marah kepadanya dengan kemaksiatan yang dilakukannya.

la sangat membutuhkan-Nya dari segala sisi sehidupan, tetapi ia senantiasa lupa untuk mengingat-Nya, padahal kepada-Nya ia akan kembali dan dihadapan-Nya ia akan berdiri (kelak di akhirat)."

[Al Fawaid hal. 74]

==ooOoo==

»»  read more